Poligami : Antara Ikhlas dan Makan Hati

“Aisyah, Poligami tidak semudah itu. Ada banyak hal yang harus aku pertanggung-jawabkan. Kamulah satu-satunya yang ku pilih atas nama Alllah” (Ayat-Ayat Cinta)
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang memberikan rahmatan lil’alamin bagi segenap umat manusia didunia diturunkan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari kebathilan dan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yang berlaku sebagai ajaran norma dan nilai untuk menjalankan kehidupan, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain; keduanya harus diraih dalam batas-batas kodrat kemanusiaan. Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan “ atau “hafalan”, atau dalam tafsiran lain bisa diartikan sebagai “kitab-kitab yang berisi firman Allah yang diwahyukan kepada Muhammad dalam bahasa Arab dan sampi kepada kita (umat muslim) melalui periwayatan yang tidak putus atau (tawatur) .
Dalam konteks kehidupan duniawi, kita sebagai seorang muslim pastinya menyadari bahwa Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat muslim memiliki tujuan dasar untuk menjaga jiwa, akal, keturunan umat manusia, harta kekayaan, dan agama itu sendiri . Dalam konteks keturunan, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk menikah, membentuk keluarga sakinah dan warrohmah guna menghasilkan keturunan yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya sebagai legalitas hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk perbuatan hukum yang berawal dari perikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan tanpa ada paksaan maupun suruhan oleh orang lain, ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang sakral karena dilegalkan oleh agama sebagai keyakinan trasendental kedua mempelai. Hal ini dipertegas dalam Surah An-Nisa Ayat 19 yang menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah memberikan kebaikan yang banyak padanya”
Sedangkan dalam hadist nabi diuraikan oleh dalam Hadist Riwayat Bukhari, yang menyatakan secara eksplisit :
“Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasullah saw memuji Allah dan menyanjungNya seraya bersabda : “Tetapi aku berpuasa, berbuka, shalat, tidur dan mengawini wanita. Barang siapa yang benci kepada sunnahku (caraku) ia bukan dari golonganku”
Perkawinan adalah sebagai sunnatullah yang berlaku umum pada semua mahkluk, terutama kepada manusia sebagai mahkluk yang diciptakan paling sempurna di muka bumi. Ikatan perkawinan dalam Islam merupakan suatu ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) yang menyatukan laki-laki dan perempuan dalam wadah keluarga yang penuh ketentraman, rasa kasih dan sayang. Sehingga, tidak bisa dinafikan bahwa dasar dari perkawinan adalah rasa saling mempercayai dan kesetiaan antar suami dan istri dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga. Namun bukan hal yang langka (bahkan sering ditemui) dalam kehidupan berumah tangga sering terjadi pertentangan dan beda pendapat antara suami dan istri baik dalam skala kecil maupun besar. Permasalah yang acap kali menjadi isu perceraian rumah tangga adalah poligami. Secara etimologi, Poligami bisa diartikan sebagai:” suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang”. Sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai: “Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan atau suatu adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang perempuan” . Istilah poligami sudah sering didengar dan selalu menyedot banyak perhatian, karena hal ini telah dipraktekkan sejak ribuan tahun silam, tetapi tetap hangat dan menarik untuk dibahas. Ibarat buah durian yang akan menyakiti orang yang tertimpa karena durinya yang tajam, namum tetap diburu karena sensasi “rasa” dan “aroma” yang sangat luar biasa.
Mungkin masih segar dalam ingatan, ketika pada medio tahun 2008, Indonesia diguncang demam film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang bersetting kehidupan anak kost yang jauh merantau di negeri firaun Mesir untuk menuntut ilmu, sosok tersebut digambarkan sebagai pribadi yang cerdas, baik hati dan alim. Sosok tersebut bernama Fahri, yang pada ending film tersebut diceritakan memperistri dua orang wanita cantik Aisyah dan Maria. Film tersebut sangat menarik dan kontroversial karena sungguh merepresentasikan kehidupan yang nyata dan mungkin sering terjadi di seluruh belahan dunia tanpa terkecuali Indonesia.
Kalangan pembela hak-hak wanita (Feminist) bahwa pernah berkomentar sinis bahwa film tersebut sebaiknya diganti judulnya menjadi Ayat-Ayat Lelaki. Komentar dari kalangan feminist tersebut bisa menjadi tolak ukur kegelisahan para kaum wanita dalam menghadapi kemungkinan dirinya “tertimpa” poligami. Apakah nantinya praktek poligami yang memang secara normatif sah dan halal dalam Islam, akan bernasib sama seperti dengan “perceraian” yang halal namun sekaligus dibenci? Apakah kedepannya (dan mungkin sudah terjadi) banyak kalangan lelaki melakukan poligami semaunya dengan menggunakan apologi menghindari zina yang jelas dilarang dalam Al-Qur’an dan Hadist atau dengan alasan ingin meniru perilaku (poligami) Nabi Muhammad? Tulisan sederhana ini akan mencoba melacaknya.
Poligami dalam Al-Qur’an
Secara normatif, Al-Qur’an secara ekspisit membolehkan praktek poligami, Allah Swt menyatakan dalam surat An-Nisa ayat (3):
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berbuat adil , maka (nikahilah) seorang saja , atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”
Ayat diatas yang sering menjadi bahan perdebatan terutama bagi para memerhati hak-hak wanita dan gender. Secara sekilas memang terkesan ayat diatas sangat bias gender, dimana laki-laki diposisikan lebih tinggi dari perempuan, laki-laki cenderung mendapatkan banyak kelebihan, keistimewaan dan kemudahan dibandingkan kaum perempuan, yang cenderung dieksploitasi oleh laki-laki, karena secara nurani tiada perempuan yang mau diduakan,dibagi cinta oleh perempuan lain, sekiranya begitu pula perasaan laki-laki bila diduakan oleh istrinya. Kritik terhadap praktek poligami secara ekplisit disampaikan oleh para aktivis hak-hak wanita (Feminist) di Arabia dan Mesir yang menulis suatu tuduhan yang memberatkan tentang status wanita dalam masyarakat Islam:
“ Tidak seorang pun dapat mengkaji kisah tragis wanita dibawah Islam tanpa suatu kerinduan dan doa yang sungguh-sungguh bahwa sesuatu yang memadai dapat dilaksanakan. Kita merasa kasihan dan sedih terhadap wanita Islam berkerudung ”
Lebih lanjut Samuel M. Zwener mengemukakan kritiknya tentang suatu gambaran suram dan sama sekali tidak sehat dari kehidupan rumah tangga dimana wanita diasingkan dan dicap dengan citranya yang rendah sebagai satu penyebab utama meratanya kerusakan moral dalam keluarga poligami Islam.
“Kehidupan keluarga yang sehat adalah tidak mungkin. Anak-anak tumbuh dalam suatu suasana intrik beracun, berahi yang subur, bahasa buruk, dan amoral tanpa malu. Mereka dikotori sejak dari masa muda” .
Kecaman terhadap poligami oleh para feminist terjadi karena poligami sering sekali disalah tafsirkan oleh beberapa kalangan, terutama bagi kalangan-kalangan yang memahami dan memaknai ayat-ayat Al-Qur’an hanya dari segi tekstual semata, tanpa mau memperhatikan aspek konstektualitas dan sejarah (Asbabun Nuzul) dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagi contoh ayat diatas (An-Nisa :3) dianggap sebagai harga mati akan sahnya perkawinan poligami, yang pada akhirnya akan melanggar nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat. Jumlah istri yang dihalal kan untuk dinikahi pun bervariasi sesuai dengan tafsiran masing-masing kalangan, ada yang menafsirkan jumlah maksimal istri adalah empat orang, sembilan orang bahkan sampai duapuluh orang.
Sejatinya, poligami yang berdasarkan atas godaan syahwat nakal semata yang dibungkus oleh “legalitas semu” tersebut tidak bisa dibenarkan dalam Hukum Islam, karena pernikahan dapat berubah-ubah hukumnya dari halal, haram, sunnah, dan makhruh, sesuai dengan tujuan menikah itu sendiri. Apabila seseorang menikah hanya untuk bertujuan untuk “melegalkan” perzinahan, maka itu dapat diklasifikasikan sebagai “nikah yang haram” (ahkamul khamsah) . Karena dasar dari perkawinan adalah komitmen dan cinta kasih bukan nafsu semata. Poligami yang dilakukan lewat penafsiran sempit ini, memang telah menodai komitmen suci dalam berumah tangga, menafikan nilai-nilai keadilan dan melunturkan kasih dan cinta dalam keluarga yang sudah lama dibina.
Memahami poligami dalam Islam, tidak cukup hanya dengan mengartikan satu ayat secara tekstual, ayat-ayat Al-Qur’an harus dipahami secara menyeluruh, holistik dan filsafati. Bila kita hanya mencermati satu ayat saja (ayat 3) maka, akan timbul bias gender dalam poligami, tapi apabila kita memperhatikan ayat-ayat yang relevan dengan poligami, maka akan terlihat dasar filsafati dari ayat-ayat tersebut, seperti yang tercantum dalam Surah An-Nisa : 2, yaitu:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar” .
Bila kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an secara konstektual maka akan tergambar latar belakang (Asbabun Nuzul) dari poligami dalam Islam. Ayat ini diturunkan pada masa Perang Uhud (3 Syawal) dimana pada saat itu pasukan Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw menderita kekalahan dari kaum Quraisy, sebanyak lebih dari 70 orang tentara (laki-laki) meninggal dunia, meninggalkan keluarga, anak-anak menjadi yatim piatu dan istri-istri mereka menjadi janda. Kejadian inilah yang menjadi alasan diturunkannya ayat diatas sebagai anjuran untuk mengawini para janda-janda perang dan menafkahi anak-anak mereka. Kalau dicermati, maka ayat poligami di Al-Qur’an bukan merupakan bentuk anjuran, tapi lebih sebagai solusi dari keadaan darurat.
Apabila kita berkaca pada pengalaman umat manusia, keadaan darurat tersebut juga sering terjadi dalam keadaan perang, dimana banyak tentara-tentara (laki-laki) yang gugur dimedan perang, sehingga semakin mempertajam selisih jumlah kuantitatif laki-laki dan perempuan. Menurut Encyclopedia Britannica (1984), dalam Perang Dunia ke-I (1914-1918) tercatat hampir 8 juta tentara tewas di medan tempur, Perang Dunia ke-II (1939-1945) tercatat lebih dari 60 juta, dan dalam Perang Irak-Iran (1979-1988), hampir 82.000 wanita Iran dan 100.000 wanita Irak menjadi janda . Dalam keadaan darurat seperti diatas, poligami memainkan peranan penting sebagai solusi untuk menyeimbangkan jumlah laki-laki dan perempuan, dan menafkahi janda-janda dan anak-anak yatim piatu.
Apabila kita berkaca pada realitas kehidupan kontemporer, memang poligami masih diterima “setengah-hati” oleh masyarakat yang masih menjaga adat kesakralan perkawinan dan komitmen rumah tangga. Namun poligami jelas berbeda dengan perceraian, walaupun kedua-duanya halal untuk dilakukan, namun perceraian lebih memberi dampak buruk dari pada poligami, karena dalam perceraian terjadi destruksi ikatan dan hubungan yang telah terjalin, hal inilah yang membuat Allah Swt sangat membenci perceraiaan.
Sementara poligami, menambah jalinan hubungan baru, tetapi dalam poligami juga sering terdapat emosi kebencian namun hadir dalam suasana yang berbeda. Hal ini karena suami tidak dapat berperan secara adil, tidak mendapatkan ridha dari istri pertama dan problem-problem psikologi yang dialami istri pertama dan keluarganya. Tentang pentingnya menjalankan keadilan dalam keluarga poligami, Allah SWT memberikan anjuran dalam surah An-Nisa Ayat 129, sebagai berikut:
“Dan kamu tidak akan pernah berlaku adil kepada istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”
Selain mengaitkan poligami dengan aspek emosional dan psikologi istri yang diduakan, kerancuan dalam menafsirkan esensi dari poligami juga sering terjadi dengan alasan untuk menghindari prilaku berzina, oleh banyak kalangan (laki-laki) sering berujar: “lebih baik kawin (poligami) lagi, dari pada berbuat zina “. Alasan ini menurut penulis sangatlah “cengeng” karena kita selaku umat muslim sudah menyadari dan mengetahui bahwa zina itu dilarang (haram hukumnya) oleh Islam, seperti yang diamanahkan Allah SWT dalam surah Al-Isra’ ayat 32 yang menyatakan:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”
Sedangkan terkait alasan melakukan poligami guna untuk meniru perilaku Nabi, juga sangat tidak dapat diterima, karena seorang Nabi, seperti Nabi Muhammad SAW, memang sosok manusia pilihan yang tidak dapat ditiru-tiru oleh umatnya. Meniru kebiasaan dan perilaku beliau secara wajar mungkin dapat diterima sebagai anjuran sunah nabi, namun meniru secara an sich dan berlebihan tidaklah wajar. Hal ini dapat dijelaskan oleh Allah SAW dalam surah Al-Ahzab ayat 50, yang menyatakan:
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin. Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” .
Jadi sebenarnya, sebagian besar tradisi agama di dunia (terutama Islam), berpendapat bahwa bukan teks agama (secara normatif) yang menjadi sebab masalah ketidakadilan dan kesetaraan gender antara suami/pria dan istri/wanita, namun lebih kepada penafsirannya. Julia Cleves Mosse, dalam penelitiannya meneliti hampir semua teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Berkesimpulan bahwa agama menawarkan kemungkinan pembebasan dan perbaikan terhadap posisi wanita (istri) baik dalam ranah privat/keluarga maupun publik/masyarakat . Bahkan dalam ranah publik, seorang istri/wanita pun dapat berperan dalam menjalankan kekuasaan. Dalam tradisi masyarakat Islam, wanita memberi sumbangan penting terhadap sufisme dan ilmu keagamaan seperti yang dipraktekkan oleh Rabbiatul Adawiyah pada jaman kekhalifahan Islam Timur di Bahdad (Irak).

Poligami dalam Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dibuat dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas manusia sebagai anggota keluarga . UU ini lahir sebagai jawaban atas berbagai macam kasus poligami dan poliandri yang sewenang-wenang dilakukan oleh masyarakat. UU ini pada prinsipnya dimaksudkan untuk mengubah sistem poligami menjadi monogami dan sekaligus sebagai sarana efektif untuk melindungi kedudukan wanita dalam keluarga supaya lebih terlindungi dari eksploitasi laki-laki dalam hubungan sebagai suami istri. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat 1, yang menyatakan:
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami .
Namun pemakaian asas monogami dalam UU tersebut tidaklah dilakukan dengan tegas, bahkan ada yang beranggapan bahwa asas monogami tersebut bersifat terbuka , dalam artian poligami masih tetap dilegalkan (sah) terhadap orang yang menurut hukum dan agama (Islam) yang dianutnya mengizinkan seorang suami beristri lebih dari seorang. Dengan demikian UU ini tersebut juga pro terhadap poligami, seperti yang dapat dipahami dalam Pasal 3 Ayat 2, yang menyatakan:
(2) Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan .
Dari kedua ayat-ayat diatas, dapat dianalisa perihal politik hukum pembentukan UU Perkawinan tersebut yang dapat dikategorikan sebagai UU yang responsif, dalam artian UU tersebut merupakan suatu produk hukum yang dihasilkan dari aspirasi-aspirasi yang hidup dimasyarakat (terutama umat muslim) pada umumnya. Namun bukan berarti UU tersebut tidak memiliki cela, konsewensi dari dianutnya asas monogami terbuka adalah hilangnya konsistensi dari pemerintah untuk melaksanakan asas monogami, pemerintah terlihat ragu dalam memilih antara asas poligami ataukah asas monogami. Sehingga UU tersebut cenderung terlihat “abu-abu”, selain itu UU tersebut juga membawa dampak psikologis bagi para wanita yang merasa kurang terlindungi hak-haknya dari ancaman praktek poligami, walaupun izin untuk melakukan poligami dilandasi oleh perjanjian, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 1, namun perjanjian tersebut dirasa masih belum cukup dapat memberikan rasa adil dalam berpoligami.
Praktek poligami, secara historis dan kultural tidak dapat dipisahkan oleh budaya patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat Arab pra-Islam dan suku-suku nomadent di Afrika bagian Timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana suami sebagai kepala rumah tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak (untouchable) atas semua anggota keluarganya . Patriakhi tersebut pada perkembangannya menjadi suatu gerakan dominasi (dominance movement) pris/suami atas wanita/istri dan anak-anak didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi pria/suami terhadap semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Relasi yang mengikuti budaya patriarki, adalah relasi patron-clan; atau ketertundukan, kesakralan perintah suami/pria terhadap istri/wanita dan anak-anaknya. Relasi inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidak adil dan kesewenangan didalam rumah tangga.
Seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang istri, hendaknya dipandang sebagai sebuah bagian terpenting dalam suatu keluarga. Karena mereka memainkan peran yang sangat signifikan terhadap tumbuh kembangnya keluarga dan anak-anak mereka. Suami dan istri dalam suatu keluarga hendaknya tunduk kepada suatu prinsip kesetaraan, persamaan, keadilan dan kemitraan dalam berkeluarga, yang nantinya akan menciptakan suasana harmoni dan tidak menimbulkan perasaan ekstrimitas diantara keduannya. Kesetaraan dalam hubungan suami istri meliputi kesetaraan dalam hal kedudukan dalam tata hukum dan undang-undang nasional, begitu pula dalam pola relasi hidup sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat dimana tidak ada diskriminasi antara suami terhadap istrinya. Prinsip kedua, menurut penulis sangat urgent untuk diperhatikan adalah prinsip keadilan dalam berumah tangga. Seorang suami sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk dapat berlaku adil terhadap istrinya dan terhadap anak-anak mereka, barometer keadilan inilah yang sangat sulit dipenuhi oleh keluarga poligami, walaupun ada beberapa pihak (suami) yang meng-klaim sudah berlaku adil terhadap istri-istrinya. Anjuran untuk berlaku adil juga diamanahkan dalam Al-Qur’an, surah Al-A’raf Ayat 29, yang menyatakan:
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Dan kamu akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu diciptakan semula”
Sedangkan prinsip persamaan dan kemitraan dalam berkeluarga dipandang sebagai sebuah kondisi dimana suami dan istri memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan , peranan yang dilandasi oleh sikap dan perilaku saling bantu membantu, dan saling mengisi disemua bidang kehidupan . Prinsip-prinsip diatas bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis, berkeadilan dan mewujudan kemitrasejajaran yang merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri.
Kesimpulan
Fenomena poligami, yang marak diperbincangkan saat ini hendaknya dimaknai secara lebih dewasa dan komprehensif, dan janganlah terjebak pada suatu penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an dengan cara yang sempit dan tekstual semata. Namun haruslah ditafsirkan dengan menggunakan akal, logika, dan secara kontektual sehingga dapat dimaknai sesuai dengan Asbabul Nuzul yang diinginkan oleh Allah Swt.
Wanita, sebagai salah satu ciptaan Allah Swt, pastinya diciptakan dengan tujuan tertentu, yang pasti mulia dan penting bagi kehidupan dan keseimbangan kosmos dan kosmik di alam semesta ini. Hendaknya juga mereka dihormati sesuai dengan kodrat dan perannya baik dalam lingkup privat/keluarga maupun lingkup publik/masyarakat.

Leave a comment